×

[BOOK REVIEW] Thinking Fast And Slow, BERFIKIR CEPAT BELUM TENTU TEPAT

Saya adalah orang yang cukup skeptis jika ada orang yang bilang FIRASAT SAYA SELALU BENAR, mungkin pernah benar, tetapi tidak “sering” benar. Menurut saya, untuk menghasilkan suatu keputusan yang benar atau mendekati benar, dibutuhkan proses berfikir dengan mengkombinasikan berbagai informasi dan parameter. Dan tidak jarang dalam proses berfikir, dugaan awal kita bisa jadi salah, dan itu sangat-sangat normal.

Dan buku Thinking Fast And Slow ini mengartikulasikan dengan baik kegelisahan saya di-atas. Kahneman membagi 2 sistem berfikir manusia yaitu (1) automatic and impulsive dan (2) very conscious, aware and considerate.

Sistem 1 bekerja secara otomatis dan cepat, dan biasanya dengan tanpa usaha. Sistem 1 membuat keputusan berdasarkan ingatan atau pengalaman kita. Misal, apa ibukota Jakarta? Tanpa berpikir, karena kita sudah banyak tahu sebelumnya, secara cepat kita akan menjawab Jakarta. Kebalikannya, sistem 2 lebih membutuhkan usaha. Misalnya pada perhitungan yang rumit: 21×17=? Tentu kita butuh waktu untuk berfikir.

Seperti yang saya tulis di atas, ke-2 sistem sangat dibutuhkan, tergantung kapan. Tentu tidak lucu jika kita terancam tenggelam, dan kita menggunakan sistem 2, tentu kita udah mati duluan.

Permasalahannya adalah tidak jarang kita terlalu malas dalam menggunakan sistem 2 dalam proses berfikir, yang padahal merupakan problem yang sebenarnya kompleks. Contoh :

Total harga Nasi Uduk dan Es Teh adalah 11 ribu.
Harga Nasi Uduk lebih mahal 10 ribu daripada Es Teh.
Berapa harga Es Teh?

Kebanyakan orang akan menjawab harga teh adalah seribu. Padahal, yang benar adalah lima ratus. Kenapa? Karena Sistem 1 bekerja secara naluriah, dan menghasilkan jawaban yang hanya ‘cukup masuk akal’. Hanya ketika kamu pikirkan lagi pertanyaannya dan pelan-pelan mulai menganalisis (ini adalah Sistem 2), kamu akan mengerti kenapa jawabannya adalah lima ratus. Dan jika menjadi kebiasaan kita selalu menggunakan sistem 1 yang terjadi adalah kita ada tendensi enggan mengaktifkan sistem 2, karena “Malas”. Itulah yang sering terjadi di society kita, orang terlalu gampang “judging” dan “jump to conclusion”, ya bisa jadi sesimpel mereka males berfikir, padahal di setiap suatu aksi yang terjadi tidak jarang terdapat motivasi dan latar belakang yang cukup kompleks melatar belakangi aksi itu.

Terus bagaimana agar tidak membiasakan menggunakan sistem 1? Menurut saya, otak kita punya kapasitas berfikir, dan tidak jarang kita menggunakan sistem 2 untuk urusan-urusan yang tidak penting atau bukan fokus kita saat ini, jadi ya akhirnya otak kecapekan dan selalu memilih ke sistem 1. Sebagai contoh, saya suka filsafat sebagai penikmat, saya tau filsafat itu rumit dan saya punya prioritas lain selain “mikirin” filsafat, jadinya ya saya hanya jadi penikmat saja. Jangan tanya saya tentang etika, logika dan epistemologi, saya hanya mendengarkan diskusi “tanpa berfikir”. Cara lain saya untuk menghemat tenaga otak adalah dengan tidak mengikuti gosip artis (hahahaha), tbh, saya tidak follow akun-akun gosip atau sejenis, karena malah bikin kepikiran yang gak penting, dan ini works buat saya 🙂

Selain hal diatas, Kahneman juga membahas mengenai (1) mengapa orang sangat menyukai sesuatu yang familiar, mudah dimengerti, dan enak dilihat. (2) bagaimana membuat orang percaya hal-hal yang baru (3) WYSIATI – What You See Is All There Is, hingga (4) Jangan pernah menggunakan emosi dalam proses berfikir yang ada hubungannya dengan “uang”, dll. Simpelnya, buku ini wajib dibaca buat kamu yang ingin memulai untuk mengasah critical thinking kamu. Saya rasa buku ini adalah buku yang tepat untuk menemukan WHY-nya 🙂

Quote Menarik di buku ini :

  1. A reliable way to make people believe in falsehoods is frequent repetition, because familiarity is not easily distinguished from truth. Authoritarian institutions and marketers have always known this fact.
  2. Nothing in life is as important as you think it is, while you are thinking about it
  3. Our comforting conviction that the world makes sense rests on a secure foundation: our almost unlimited ability to ignore our ignorance
  4. If you care about being thought credible and intelligent, do not use complex language where simpler language will do
  5. Intelligence is not only the ability to reason; it is also the ability to find relevant material in memory and to deploy attention when needed
  6. This is the essence of intuitive heuristics: when faced with a difficult question, we often answer an easier one instead, usually without noticing the substitution

Post Comment