Ada tiga hal yang akan terjadi:
Pertama, bentuk seni lama akan tetap ada—tapi permintaannya menurun. Kedua, sebagian seniman akan kehilangan pekerjaan, karena dunia berubah lebih cepat dan beberapa seniman menjadi tidak relevan lagi. Ketiga, akan lahir jenis pekerjaan baru—bukan “seniman versus AI”, melainkan artist with AI. Dan dalam perubahan itu, kita dihadapkan pada satu pertanyaan besar: apa arti seni ketika mesin bisa ikut mencipta?
Kita pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Waktu kamera digital muncul, banyak fotografer marah.
Waktu Photoshop mulai digunakan, banyak yang protes.
Waktu seniman mulai menggambar di tablet, bukan di atas kanvas, orang berkata, “Itu bukan seni yang asli.”
Tapi waktu berjalan, dan kita belajar satu hal penting: bukan alatnya yang menentukan nilai seni, tapi jiwa di baliknya.
Tapi kali ini mungkin sedikit berbeda.
Karena AI tidak hanya mempercepat proses penciptaan. AI menciptakan untuk kita.
Kita hanya mengetik prompt, dan dalam hitungan detik—muncul gambar. Puisi. Lagu. Sesuatu yang dulu butuh hitungan jam hingga hari, bahkan tahun—kini hadir dalam hitungan menit hingga detik.
Lalu muncul pertanyaan besar: Masih adakah tempat bagi seniman ketika mesin bisa menggantikan?
—
Inilah yang kemungkinan besar akan terjadi.
Pertama, seni tradisional akan tetap hidup.
Pelukis cat minyak. Pianis jazz. Pengarang lagu. Mereka tidak akan hilang.
Tapi ya—permintaan bisa berkurang. Seperti halnya kamera film. Atau mesin tik.
Akan tetap ada yang menghargai. Tapi pasar akan bergerak ke tempat yang lebih cepat, lebih murah.
Kedua, sebagian seniman akan kehilangan pekerjaan.
Desainer mungkin akan tergantikan. Pengisi suara digantikan AI. Storyboard artist digantikan oleh model generatif.
Dan untuk mereka yang berkata “tinggal adaptasi”—mungkin belum pernah tahu rasanya kehilangan identitas dalam proses perubahan. Atau sesimpel orang itu gak punya empati.
Mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan. Mereka kehilangan bagian dari diri mereka.
Itu yang harus kita fahami
Ketiga, pekerjaan-pekerjaan baru akan lahir.
Seniman baru akan muncul. Bukan “seniman versus AI”— melainkan “seniman bersama AI”.
Mereka akan menjadi prompt composers. Visual curators. AI creative directors.
Mereka tidak kehilangan seni. Mereka membentuk ulang definisi seni.
—
Tentu akan ada suara-suara yang berkata: “Itu bukan seni. Itu curang.” “Itu instan. Itu tidak punya jiwa.”
Tapi mari kita ingat: Apakah mesin tik membuat Hemingway kehilangan kedalaman tulisannya? Apakah suara digital membuat musik Hans Zimmer kehilangan magisnya? Apakah Pixar bukan seni—hanya karena memakai komputer?
Seni bukan soal medianya. Tapi soal maknanya.
Sikat tak membuat pelukis hebat. Tapi pelukislah yang memberi makna pada sikat itu. #asekkk
—
Tapi di balik semua itu, pada akhirnya, memang mesin bisa membuat gambar. Tapi hanya manusia yang bisa memberi konteks.
Mesin bisa meniru gaya. Tapi hanya manusia yang bisa memahami patah hati.
Rindu.
Kekaguman.
Harapan.
Seni bukan sekadar output. Seni adalah insight. Dan insight hanya datang dari hidup yang dijalani.
—
Setiap generasi menghadapi disrupsi. Yang membedakan kita, bukan seberapa keras kita menolak perubahan— tapi seberapa berani kita mencipta di tengahnya.
Dan mulai bertanya, “Seniman seperti apa yang akan berkembang di dunia baru ini?”