Kita sering dengar nasihat: jadilah dirimu sendiri. Tapi yang jarang dibahas adalah —dirimu yang mana? Dirimu yang sedang ngobrol sama orang tua di ruang tamu? Dirimu yang bercanda ramai di tongkrongan? Dirimu yang merasa enggan disaat ditanya hal-hal pribadi, terutama oleh orang baru kenal? Dirimu yang tampil rapi di ruang meeting? Atau dirimu yang sedang bengong sendiri di kamar? atau Dirimu yang selalu bahagia di social media? Semua itu adalah Dirimu Sendiri
Bukan soal menjadi “asli” atau “pura-pura”. Tapi soal adaptasi dan konteks. Mungkin, pertanyaan yang lebih relevan adalah bukan siapa diriku, tapi di versi diriku yang mana yang aku merasa paling damai (?)


Banyak dari kita tumbuh dengan idealisme bahwa diri yang “asli” adalah diri yang konsisten di semua tempat. Bahwa jika kamu berubah tergantung siapa yang ada di ruangan, maka kamu sedang kehilangan jati diri atau dikatakan munafik. Tapi dunia tidak bekerja seperti itu. Kamu tidak bisa bicara seperti di tongkrongan ketika sedang presentasi ke klien. Kamu tidak bisa tertawa lepas seperti dengan sahabat saat sedang duduk di ruang keluarga besar yang penuh norma tak tertulis atau ketemu calon mertua. Kamu tentu tidak perlu mengumbar semua kehidupanmu di social media.
Dan itu bukan berarti kamu palsu.
Itu artinya kamu sedang membaca ruangan. Kamu sedang bertindak sesuai peta. Kamu sedang beradaptasi.
Justru kalau kamu menolak berubah sama sekali, lalu menuntut semua ruang agar sesuai dengan “versi asli”-mu… maka mungkin masalahnya bukan di dunia—tapi di caramu melihat dunia.
Apakah itu berarti kamu harus kehilangan diri sendiri?
Tidak.
Kuncinya justru ada pada kesadaran. Kamu sadar kapan kamu sedang menyesuaikan diri. Kamu sadar kapan kamu sedang tampil dalam versi tertentu. Dan kamu tahu—kalau semua versi itu adalah bagian dari kamu, bukan pengkhianatan terhadap dirimu.
Yang perlu ditanyakan adalah: versi mana dari dirimu yang paling membuatmu tenang?
Dan kalau versi itu tidak bisa muncul di sebuah ruang—apakah ruang itu layak untuk kamu pertahankan?
Kalau jawabannya tidak, maka mungkin waktunya pergi.
Tapi kalau jawabannya ya—karena ruang itu penting untuk tujuanmu, untuk hidupmu, untuk orang yang kamu cintai—maka mungkin bukan “menjadi diri sendiri” yang perlu kamu ulang-ulang… tapi “belajar bertumbuh”.
Mengubah lingkungan tidak selalu mungkin.
Kecuali kamu anak presiden, atau CEO, atau orang yang bisa atur semua sistem agar cocok dengan kepribadianmu. Tapi untuk sebagian besar dari kita, pilihan yang lebih realistis adalah: berubah atau pindah.
Dan kalau kamu memilih berubah—itu bukan berarti kamu sedang memalsukan jati dirimu.
Itu berarti kamu cukup dewasa untuk bilang:
“Aku tahu siapa aku, dan aku bersedia jadi versi terbaikku untuk bisa hidup selaras di tempat ini.”
Jadi mungkin, daripada sibuk memaksa dunia menerima satu versi dirimu…
Lebih bijak untuk memperbanyak versimu.
Bukan supaya kamu bisa menyenangkan semua orang—tapi supaya kamu bisa tenang di lebih banyak tempat, tanpa kehilangan siapa dirimu di dalam.
Karena menjadi diri sendiri bukan berarti keras kepala mempertahankan satu warna.
Kadang, itu berarti kamu cukup bijak untuk berubah nuansa,
tapi tetap menjaga satu hal di dalam: integritasmu.