Bonus Demografi

Bonus demografi telah lama digadang sebagai peluang emas bagi Indonesia. Sebuah masa ketika populasi usia produktif mendominasi struktur demografi bangsa. Dan seperti biasa, dalam setiap potensi besar, selalu ada optimisme yang menyertainya. Tapi di balik statistik dan pidato resmi, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah kita benar-benar siap?

Di banyak forum kebijakan, kita sering bicara seolah angka itu otomatis membawa berkah. Seolah keberadaan jutaan anak muda akan otomatis menciptakan pertumbuhan. Padahal, seperti pasar, potensi itu butuh enabling environment. Tanpa infrastruktur yang mendukung, tanpa sistem yang membekali, potensi bisa berubah jadi beban. Belum lagi tantangan : meritokrasi yang pincang.

Coba kita lihat sejenak ke lapangan.

Banyak anak muda hari ini memang bekerja keras. Tapi bukan karena mereka sedang mengejar peluang. Mereka bekerja keras karena tak punya pilihan lain. Mereka multitasking, bukan untuk produktivitas, tapi untuk bertahan hidup. Di balik layar laptop, mereka mengerjakan side hustle sambil tetap hadir di meeting kantor. Mereka belajar kursus malam bukan karena sistem pendidikan mendukung, tapi karena merasa tidak cukup siap menghadapi tantangan hari esok.

Di kota-kota besar, mungkin sebagian dari mereka sudah terkoneksi. Punya akses ke digital tools. Punya privilege untuk mencoba dan gagal. Tapi di banyak daerah lain, kesenjangan itu nyata. Mereka yang tidak terkoneksi—baik oleh jaringan, informasi, maupun koneksi sosial—semakin tertinggal. Bukan karena mereka malas. Tapi karena tidak diberi pijakan untuk ikut dalam perlombaan.

Kita harus mulai menyadari: bonus demografi bukan hanya persoalan jumlah, tapi kualitas. Bukan hanya soal berapa banyak anak muda yang kita miliki, tapi sejauh mana mereka mampu menjadi motor ekonomi dan agen perubahan sosial.

Dan di sinilah letak tantangannya.

Bonus demografi bukan sekadar window of opportunity. Ia adalah stress test bagi kebijakan publik. Apakah sistem pendidikan kita cukup relevan untuk membekali keterampilan masa depan? Apakah dunia kerja cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan tren? Apakah sektor informal dilindungi? Apakah inklusi digital benar-benar terjadi?

Kalau tidak, kita akan menghadapi generasi yang kelelahan dalam diam. Mereka yang sibuk tapi tak sejahtera. Yang semangatnya tinggi tapi kehilangan arah karena tidak ada kompas dari negara.

Tapi saya tetap percaya—dan akan terus percaya—bahwa generasi ini tidak kekurangan semangat. Mereka hanya butuh sistem yang percaya pada mereka. Yang memberi ruang. Yang menyediakan ekosistem untuk tumbuh.

Karena pada akhirnya, ini bukan tentang siapa yang muda dan siapa yang tua. Tapi tentang arah dan keberanian memilih jalan. Masa depan tidak akan menunggu. Tapi ia akan berpihak pada mereka yang bersiap.

Dan kalau kita benar-benar ingin menjadikan bonus demografi ini sebagai titik balik sejarah, maka kita tidak bisa hanya mengandalkan jumlah. Kita harus membangun kualitas. Dengan kebijakan yang berpihak, institusi yang kuat, dan keberanian kolektif untuk berbenah.

Karena kalau kita gagal, sejarah akan mencatat: bahwa peluang ini pernah datang… tapi kita belum siap menerimanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *