Sebagian besar dari kita sebenarnya hidup bahagia dalam hal-hal sederhana seperti sarapan dan minum kopi di pagi hari, rumah sederhana, tawa keluarga, dan pekerjaan yang mampu membiayai hidup dan keluarga kita. Hingga, perasaan cukup itu mulai pudar saat kita membuka media sosial. Tiba-tiba, hidup kita terasa kurang dibandingkan dengan kehidupan orang lain. Padahal yang berubah bukanlah realitas, melainkan cara kita memandangnya. Kita mulai mempertanyakan hidup kita, ini semua karena kita MEMBANDINGKANNYA
Let me start with something simple.
Kebanyakan dari kita sebenarnya… baik-baik saja.
Kita bangun pagi di kamar yang mungkin “tidak sempurna”, tapi cukup nyaman untuk tidur nyenyak semalam. Kita minum kopi yang murah dari sachet warung, tapi nikmatnya tetap bikin dada hangat dan pikiran mulai jernih. Kita kerja di tempat yang mungkin nggak bikin bangga kalau disebutin di media sosial, tapi dari situ kita bisa bayar listrik, belanja beras, dan sesekali traktir orang tua.
Dan kadang kita ketawa bareng teman yang tahu banget selera humor kita.
Bareng keluarga yang suka kirim voice note atau video absurd, tapi selalu kita putar ulang karena bikin rindu.
Di momen-momen kecil itu—kita merasa cukup.
Kita nggak merasa kurang.
Kita nggak merasa gagal.
We just… live.
Sampai akhirnya, di tengah hari… kita buka HP.
Kita klik ikon socmed.
Kita buka Instagram. Kita swipe stories. Kita scroll TikTok.
Dan entah kenapa, setelah itu—kita merasa nggak cukup lagi.
Tiba-tiba kita merasa nggak cukup keren.
We are not rich enough.
Not good-looking enough.
Not loved enough.
Not successful enough.
Not far enough.
Not fast enough.
Padahal, bukan hidup kita yang berubah.
Yang berubah adalah perspektifnya.
Karena dulu, rumah kecil itu terasa nyaman.
Sampai kamu lihat kamar orang lain yang lighting-nya warm, sepreinya linen, dan caption-nya “sanctuary”.
Liburan keluarga ke pantai lokal itu cukup menyenangkan.
Sampai kamu lihat honeymoon orang di Maldives, dengan drone shot dan lagu Coldplay di latar.
Pasanganmu yang tenang dan sederhana terasa cukup.
Sampai kamu lihat proposal di Eiffel Tower, dengan lighting cinematic dan caption: “a love I prayed for”.
Dan semua itu mulai dari satu bisikan kecil dalam hati:
“Maybe I’m not doing enough.”
“Maybe I’m late.”
“Maybe my life isn’t special.”
Let me ask you something.
When did enough stop being enough?
Kapan rasa cukup jadi sesuatu yang kita anggap kurang?
Kapan jam 6 pagi bareng anakmu jadi kalah makna sama selfie orang lain di gym, lengkap dengan caption “chasing goals, not people”?
Kapan momen hidup yang nyata mulai kita tukar dengan highlight reels yang bahkan nggak kita ingat pernah kita like?
Masalahnya bukan di media sosial.
Masalahnya ada saat kita lupa untuk apa media sosial itu dibuat.
Awalnya dia hadir buat mendekatkan kita,
buat berbagi bahagia,
buat merayakan pencapaian kecil.
Tapi di tengah jalan, kita biarkan dia mendikte:
cara berpakaian,
cara mencintai,
cara menua,
cara sukses.
Padahal, orang paling bahagia belum tentu yang paling banyak menunjukkan.
Kadang mereka justru yang paling tenang di ruang-ruang sepi.
Yang tertawa tanpa perlu posting.
Yang hadir sepenuhnya dalam momen tanpa butuh validasi.
Yang nggak mengukur hidup dari views dan likes,
tapi dari warmth, meaning, and presence.
Ichiro Kishimi dalam The Courage to Be Disliked pernah bilang:
“The only person you need to be better than… is the person you were yesterday.”
Bukan dia yang bangun tidur di satin bedsheet.
Bukan dia yang bilang “humble” tapi tiap story-nya disponsori.
Bukan juga teman lamamu yang sekarang keynote speaker di tiga benua.
Cuma satu—
Diri kamu.
Kemarin.
Saya cuma mau bilang:
Jaga jiwamu.
Jaga pandanganmu.
Jangan biarkan dunia digital membuatmu lupa dengan kenyataan hidupmu.
Karena hidupmu bukan sesuatu yang bisa kamu swipe.
Hidupmu adalah kopi yang kamu seduh pagi ini.
Adalah nasi dan telur dadar yang kamu makan diam-diam tanpa foto.
Adalah obrolan sama ibu yang nggak estetik tapi bikin hati hangat.
Kamu tidak tertinggal.
Kamu tidak biasa-biasa aja.
Kamu tidak telat.
Kamu sedang hidup.
Dan kalau nanti kamu scroll lagi,
dan dada kamu terasa sesak,
ingatlah:
Lima menit lalu kamu baik-baik saja.
Masalahnya bukan di hidupmu.
Masalahnya adalah… kamu lupa bahwa itu sudah cukup.
Jadi ambil jeda.
Dan perlahan, kamu akan ingat:
Hidupmu tidak pernah kurang apa-apa—
sampai dunia menyuruhmu mencari.