Kadang kita nggak tahu betapa besar sesuatu… sampai ia datang kembali.
Jujur, saya pikir Kelas Inspirasi Jakarta sudah tinggal kenangan. Terakhir saya terlibat secara fisik adalah tahun 2015—saat itu, sebelum keberangkatan ke Belanda. Setelahnya, ya paling dukung dari jauh. Mostly, bantu per-website-an, kadang bantu lobi sedikit kalau dibutuhkan. Tapi tubuh saya, tidak pernah benar-benar kembali.
Lalu sebuah pesan WA masuk.
10 April 2025. Tanpa babibu, Maria bilang: “Hat, gw mau nawarin produk.”
Saya jawab: “Apa?”
Dia kirim URL: “Kembali ke Sekolah.”
Dan di situ saya tahu: This is a calling.

19 April 2025 — The First Meeting
Kami berkumpul secara virtual. Ada 27 orang. Yang saya kenal? Empat. Sisanya wajah-wajah baru—tapi dengan semangat yang familiar.
Kami berdiskusi. Muncullah pertanyaan-pertanyaan sederhana:
- “Masih penting nggak sih KI Jakarta hari ini?”
- “Apa yang mau kita bawa?”
- “Apa masalah yang mau kita hadapi?”
Dan akhirnya, dari ruang diskusi yang padat rasa itu, lahirlah satu kesepakatan sederhana:
Untuk siswa: mulailah dari mimpi.
Untuk relawan: mulailah dari hati.
That was the beginning.
29 April — Hari Inspirasi

Pagi itu, kami datang ke SDN Menteng Atas 14—sebuah sekolah dasar yang mungkin tak akan muncul di brosur pendidikan atau unggahan Instagram bertema “Jakarta Modern.”
Ia terletak di sebuah gang sempit, tersembunyi di balik gedung-gedung bertingkat. Seolah menjadi titik kecil di tengah peta megapolitan yang sibuk dan bergerak cepat.
Tapi justru di tempat seperti inilah, cahaya itu muncul.

Anak-anak menyambut kami bukan dengan formalitas, tapi dengan lambaian tangan yang riang dan suara yang membahana:
“Kakak Masuk Ke Kelas Saya!”
Tawa mereka pecah tanpa beban, mata mereka berbinar tanpa prasangka. Seakan mengatakan: Kami tidak tahu siapa kalian, tapi kami senang kalian datang.
Acara dibuka pukul 07.00 pagi.
Sambutan dari kepala sekolah membuka pagi itu dengan penuh semangat.
Tak lama, panggung kecil di halaman dipenuhi sorak-sorai ketika 3 orang siswa berprestasi naik ke depan, mengenakan sabuk karate. Mereka akan berlaga di kompetisi hari itu, mereka berdiri malu-malu di depan saat itu
Lalu kami, para relawan, maju satu per satu.
Pengenalan relawan inspirator dimulai.
Ada programmer, Content creator, HRD, Konsultan, hingga Entrepreneur. Orang-orang yang, mungkin untuk pertama kalinya, membuat profesi terasa dekat bagi anak-anak ini.
Dan di sanalah saya tahu—dari tempat yang mungkin dipandang sebelah mata inilah, geliat Kelas Inspirasi Jakarta kembali dimulai.


Sesi Kelas yang Tak Terlupakan
Setelah upacara selesai, murid-murid masuk kelas.
Dan dimulailah sesi paling inti dari seluruh pengalaman ini.
Relawan inspirator masuk satu per satu ke kelas. Bercerita dengan hati. Tentang pekerjaan. Tentang kegagalan. Tentang keberanian bermimpi.
Seorang programmer bercerita bagaimana ia membuat aplikasi dari nol.
Seorang HRD menjelaskan bahwa tugasnya bukan hanya merekrut, tapi juga mendengarkan.
Seorang content creator menjelaskan bahwa video bukan sekadar hiburan—tapi bisa mengubah perspektif.


Anak-anak menyimak dengan takjub.
Beberapa ternganga, beberapa tertawa, beberapa mengangkat tangan, ingin tahu lebih banyak. Mereka baru sadar: ternyata dunia kerja jauh lebih luas dari apa yang selama ini mereka lihat dari balik pagar sekolah.
Dan bagi beberapa dari mereka, mungkin hari itu adalah kali pertama mereka membayangkan cita-cita di luar apa yang biasa diajarkan.

Penutupan yang Penuh Rasa
Jam 11 siang.
Kami kembali ke lapangan untuk penutupan. Di bawah terik matahari, kami menyanyikan lagu riang, tertawa bersama, dan—tanpa disadari—menciptakan kenangan yang tak akan mudah hilang.
Lalu kami masuk ke sesi refleksi. Guru-guru bercerita. Ada yang bilang muridnya tak berhenti bercerita tentang “kakak inspirator” sepanjang hari. Ada yang bilang, mereka berharap kami datang kembali. Secepatnya.
Dan di situ saya sadar:
Jakarta membuka satu wajah lain—yang tak pernah terlihat dari balik kaca mobil kantor.
Kota ini punya ruang-ruang kecil yang tak terlihat oleh data GDP atau indeks literasi.
Di sekolah itu, saya diingatkan:
Bahwa pendidikan bukan soal WiFi cepat dan kurikulum canggih.
Kadang, cukup satu telinga yang mendengar dan satu hati yang mau hadir.

Karena Kadang, Kita yang Lupa
Mungkin, setelah dewasa, kita terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan realita.
Sampai kita lupa rasanya bermimpi.
Lupa rasanya bertanya, tanpa takut disalahkan.
Lupa bahwa dulu kita juga pernah berharap, dari ruang kelas kecil yang tak sempurna.
Dan anak-anak itulah yang mengingatkan kembali.
Dengan lambaian tangan. Dengan pertanyaan sederhana.
Dengan mata yang berbinar waktu ditanya: “Kalau besar nanti, kamu ingin jadi apa?”
This Is Not a Comeback. This Is a Rebirth.
Kelas Inspirasi Jakarta bukan sekadar program.
Ia adalah jeda dari hidup yang serba transaksional.
Ia adalah pengingat bahwa makna hidup bukan hanya di kantor, tapi juga di kelas-kelas sempit yang menunggu untuk dihidupkan.
Kami akan kembali di Agustus 2025.
Dan jika kamu ingin bergabung,
bukan untuk mengubah dunia dalam sehari,
tapi untuk mengingatkan dirimu sendiri bahwa dunia bisa berubah—saat satu orang saja memutuskan untuk peduli.
Follow @ki_jakarta
Mari kembali ke sekolah.
