Rest is Resistance. Depth is Power.

Dunia hari ini bergerak terlalu cepat.
Notifikasi tak pernah berhenti.
Kalender selalu padat.
Dan feed media sosial terus mengingatkan kita tentang apa saja yang belum kita capai.

Diam sebentar aja, rasanya bersalah.
Seolah kalau kita nggak produktif, kita nggak berharga.

Kita diajari bahwa kalau kita nggak hustle—
nggak terus ngejar target,
nggak terus upgrade skill tiap detik—
berarti kita buang-buang waktu.

Tapi hari ini, izinkan saya balikkan pertanyaannya:

Benarkah kita buang-buang waktu saat istirahat?
Atau justru… cara kita terus berlari itulah yang sedang menghabiskan hidup kita?


Jangan salah sangka.
Saya percaya pada kerja keras.
Saya percaya pada excellence.
Saya percaya pada usaha yang tulus dan konsisten, bahkan saat nggak ada yang melihat.

Tapi saya juga percaya, bahwa kita bukan mesin.
Bukan algoritma.
Dan bukan manusia yang harus dioptimalkan setiap menit seperti software update.

Di antara lautan productivity hack dan kutipan motivasi yang terus dibagikan,
kita kehilangan satu hal penting:
Berhenti Sejenak.


Dalam bukunya Stolen Focus, Johann Hari menulis:

“We are living in an attention crisis.
The truth is, if you cannot focus, you cannot be free.”

Dan kalimat itu menampar saya.
Karena saya lihat banyak orang hebat—cerdas, rajin, punya idealisme—
tapi nggak bisa mikir jernih lagi.

Bukan karena mereka nggak peduli,
tapi karena dunia terlalu bising untuk memberi ruang berpikir.

Selalu ada bisikan:

“Be more.”
“Do more.”
“Make it viral.”
“Build passive income.”
“7 income streams before 30.”

Dulu kita bermimpi soal makna.
Sekarang kita mimpi soal monetisasi.

Dan, itu dua hal yang sangat berbeda.


Kalau hari ini kamu merasa lelah—
bukan cuma badan, tapi juga jiwa.
Kalau kamu sudah kerja keras tapi tetap merasa belum cukup…

Saya ingin bilang satu hal:

Istirahat itu bukanlah sebuah kelemahan.
Istirahat adalah bentuk perlawanan.

Kamu tidak harus melakukan semuanya.
Kamu hanya perlu melakukan hal yang penting.

Kamu nggak perlu bales semua notifikasi.
Kamu hanya perlu membalas yang penting saja

Kamu nggak harus hadir di mana-mana.
Kamu hanya perlu hadir di tempat yang menurutmu penting

Dan buat para bos—
Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengagungkan “kecepatan” di atas “kedalaman”.

Berhenti menganggap orang yang selalu online adalah orang yang memiliki performa lebih bagus

Bangun budaya yang memberi ruang bernapas.
Yang menghargai jeda.
Yang melihat keheningan bukan sebagai “tidak hadir”,
tapi sebagai “sedang berpikir”.


Karena burnout itu bukan lencana kehormatan.
Burnout adalah tanda bahaya.

Dan kalau kita terus mengabaikannya,
kita nggak cuma kehilangan pekerja baik—
kita kehilangan manusia yang baik.


Saya tutup dengan ini:

Nilai dirimu bukan ada di seberapa padat jadwalmu.
Bukan di to-do list atau di title pekerjaanmu.

Nilai dirimu ada di niatmu.
Di keberanian memilih: deep over wide, peace over noise, growth over performance.

Mari kita berjalan lebih pelan.
Berpikir lebih dalam.
Membangun hidup yang bukan cuma terlihat keren—
tapi juga terasa hangat untuk dijalani

Karena pada akhirnya…
yang penting bukan seberapa cepat kamu lari—
tapi ke arah mana kamu memilih untuk melangkah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *