Saat Gibran, sang Wakil Presiden, berdiri di hadapan anak-anak SMA dan mendorong mereka untuk menggunakan AI—untuk eksplorasi, untuk jawaban instan, untuk “masa depan”—dia lupa satu hal yang sangat mendasar:
Tidak semua orang lahir dengan privilege seperti dia.
Tidak semua orang punya fast track menuju impian.
Tidak semua orang bisa mendapatkan hasil instan.
——‐——-‐—
Beberapa minggu lalu, Gibran mengunjungi sejumlah sekolah—SMA Bunda Mulia, SMA 66 Jakarta, dan beberapa SMA lainnya di Bogor.
Ia datang dengan mengenalkan AI dan mendorong siswa untuk memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Buat orang awam, itu terdengar seperti visionary leadership.
Langkah maju. Arah masa depan.
Tapi seperti banyak hal dalam hidup—yang tampak hebat seringkali menutupi yang lebih penting:
apa yang tidak dikatakan (atau dia genuenely gak tau)
AI—jika dikenalkan tanpa kesadaran, tanpa konteks, tanpa fondasi berpikir yang kuat—bukan hanya alat.
Ia bisa menjadi jebakan.
Intellectual trap.
Saya sempat ngobrol dengan teman saya, seorang dosen ITS, namanya Yoga.
Ia bilang, “Kalau AI digunakan oleh mahasiswa tanpa kemampuan berpikir kritis, itu bisa jadi bumerang. Mereka terbiasa mengejar hasil cepat—tanpa tahu why dan konteks di baliknya.”
Dan saya sepakat.
Karena ketika kita bergantung pada mesin sebelum kita belajar how to think,
yang kita bentuk bukan thinkers—tapi repeaters.
AI bisa bantu menjawab “what”. Tapi AI tidak peduli dengan “why”.
Dan tanpa why, tidak akan pernah ada wisdom.
Kita kehilangan proses.
Kita kehilangan rasa bingung yang justru penting.
Kita kehilangan intellectual struggle yang membuat belajar menjadi bermakna.
Yang tersisa hanyalah keinginan untuk menyelesaikan.
Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows menulis:
> “What the Net seems to be doing is chipping away my capacity for concentration and contemplation.”
Dan apa yang dia tulis tentang internet—hari ini terjadi juga lewat AI.
Kita mempercepat proses,
tapi kita kehilangan kedalaman.
Kita tahu jawabannya,
tapi tidak mengerti asalnya.
Dan di dunia yang sudah penuh dengan instant gratification,
kita justru butuh generasi yang willing to wrestle with confusion sebelum benar-benar memahami.
Karena dari kebingungan yang tulus, lahirlah pemahaman yang utuh.
Dan satu hal penting yang tidak dibahas Pak Wapres hari itu: privilege.
Mungkin bagi beliau, teknologi terasa begitu accessible.
Karena memang, hidupnya sejak awal sudah penuh access.
Tumbuh besar sebagai anak presiden, sehingga bisa membuka pintu lebih cepat dari kerja keras.
Hidup yang lebih banyak tinggal download, bukan build from scratch.
Fast lane. Fewer barriers.
Tapi siswa-siswa yang diajak bicara hari itu?
Mereka bukan Gibran.
Mereka tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong.
Tidak ada sistem yang akan menyelamatkan kalau mereka gagal.
Tidak ada second chance yang otomatis tersedia.
Mereka harus kerja lebih keras,
berusaha lebih lama,
dan berpikir lebih dalam—karena mereka tidak punya shortcut.
Jadi ketika kita bicara soal “mendemokratisasi AI”,
kita perlu tau: teknologi tidak otomatis adil.
Teknologi itu netral.
Yang membuatnya adil adalah: policy.
Kognitif equity.
Fair access.
Tugas pemerintah bukan hanya membagikan tools.
Tapi memastikan bahwa setiap anak—dengan atau tanpa privilege—punya fondasi untuk berpikir.
Untuk memahami. Untuk tidak sekadar mencari jawaban, tapi juga mengerti prosesnya.
Saya tidak bilang kita harus takut pada AI.
Saya bilang kita harus paham AI.
Tapi ajarkan juga berpikir.
Ajarkan coding, tapi ajarkan juga contemplation.
Ajarkan prompt, tapi jangan lupa ajarkan pause untuk sejenak merenung dan berfikir.
Karena AI seharusnya jadi learning partner.
Bukan replacement dari proses panjang dan sulit yang membuat belajar jadi berarti.
Pendidikan bukan soal siapa yang sampai duluan.
Tapi siapa yang paling paham why mereka sampai di sana.
Dan kepemimpinan, bukan tentang siapa yang paling cepat bicara soal teknologi,
tapi siapa yang cukup jujur untuk bertanya:
“Apakah semua orang punya pijakan yang sama dalam lompatan ini?”
Yes, AI is powerful.
But no machine will ever replace the human need to think.
Indonesia butuh generasi yang bukan hanya tech-savvy,
tapi juga thought-rich.
Bukan hanya efisien,
tapi juga wise.
Karena dunia tidak butuh lebih banyak jawaban sempurna.
Dunia butuh lebih banyak orang yang berani berpikir dan bertanya—dengan benar.
Dan mungkin, perubahan besar dimulai dari satu kata: why.