Biasanya, saat kita melihat negara yang miskin dan tertinggal, kita langsung menyalahkan hal-hal berikut:
“Mungkin mereka nggak punya sumber daya.”
“Mungkin orang-orangnya malas. Rakyatnya gak bisa diatur”
“Atau mungkin, cuma lagi sial.”
Tapi bagaimana kalau sebenarnya penyebab utamanya…
bukan budaya, bukan rakyatnya, bukan nasib, tapi sistem dalam pemerintahan?
Daron Acemoglu dan James A. Robinson, dalam bukunya : Why Nations Fail, menuliskan:
“Nations fail when institutions become extractive—when power is used to benefit the few at the expense of the many.”
Yup penyebabnya adalah : Extractive institutions.
Institusi yang tidak melayani rakyat, tapi melayani kekuasaan.
Aturan yang ditulis bukan untuk keadilan, tapi untuk mempertahankan privilige.
Kebijakan yang dirancang bukan untuk memperluas akses, tapi menjaga status quo.
Dan kalau boleh jujur, kita melihat tanda-tanda itu di sini.
Di Indonesia.
Ketika hukum terasa bisa dibayar.
Ketika keadilan tergantung siapa yang kenal siapa.
Ketika sumber daya publik lebih sering mengalir ke segelintir pihak yang “dekat”—bukan rakyat kebanyakan.
Bukan karena orang Indonesia nggak pintar.
Bukan karena kita nggak kerja keras. (Bayangkan berapa orang Indonesia yang harus memulai harinya dari jam 5 pagi karena alasan macet, atau alasan lain)
Tapi karena kadang, sistemnya tidak memberi ruang untuk semua orang tumbuh.
Dan bentuknya bisa kita lihat sehari-hari:
Petani yang kerja dari subuh sampai sore, tapi masih bingung bayar sekolah anak.
Mahasiswa brilian, tapi jalannya buntu karena birokrasi yang rusak.
Pengusaha kecil yang mau izin usaha aja bisa tahunan, sementara “yang punya kenalan” tinggal telepon kenalan.
Anak-anak muda hebat… yang akhirnya pilih kerja di luar negeri, karena merasa di sini, sistemnya tak akan pernah berpihak pada mereka.
It is not a failure of effort.
Ini kegagalan akses.
Kegagalan fairness.
Kegagalan institusi yang seharusnya melayani rakyat… tapi malah sibuk menjaga dirinya sendiri.
Terus harus bagaimana?
Kalau institusi yang rusak bisa menghancurkan negara,
maka institusi yang inklusif bisa membangunnya kembali.
Masih dari Why Nations Fail, mereka menulis:
“Inclusive institutions are those that allow and encourage participation by the great mass of people in economic activities that make best use of their talents and skills.”
Institusi inklusif adalah sistem yang membuka pintu.
Yang mendorong semua orang—bukan segelintir—untuk ikut ambil bagian.
Yang memberi ruang bagi talenta, bukan hanya koneksi.
Yang memberi panggung buat yang kerja keras, bukan yang dekat-dekat kekuasaan.
Dan itu berarti:
Demokrasi yang nyata—bukan hanya kotak suara tiap lima tahun.
Hukum yang netral—bukan yang bisa dibeli.
Pendidikan yang membuka jalan—bukan sekadar mengumpulkan ijazah.
Kebijakan yang melindungi yang kecil—bukan cuma memperbesar yang sudah besar.
Sistem yang memberi setiap anak bangsa:
kesempatan yang adil.
Lalu, apa artinya semua ini buat Indonesia?
Artinya kita sedang di persimpangan.
Kita bisa mengulang siklus lama:
Kekuasaan diwariskan, bukan diperjuangkan.
Kesempatan dikunci, bukan dibuka.
Sistem dijaga bukan demi rakyat—tapi demi mereka yang sudah di dalamnya.
Atau…
Kita bisa memilih jalan yang lebih berani.
Membangun institusi yang akan bertahan lebih lama dari siapa pun yang berkuasa.
Menuntut transparansi.
Menghadirkan akuntabilitas.
Membuka partisipasi.
Karena selama kita hanya tambal sulam gejala—tanpa membenahi akar penyakitnya,
kita akan terus memproduksi ketimpangan yang sama,
rasa frustasi yang sama,
dan akhirnya… nasib yang sama.
Saya tidak bilang Indonesia akan atau sedang gagal.
Tidak.
Tapi Indonesia berisiko—
kalau kita terus percaya bahwa pertumbuhan ekonomi saja cukup.
Kalau kita cuma bicara angka,
sementara realitas di lapangan adalah:
yang menikmati kemajuan, itu-itu saja.
Kita sudah lihat ini di banyak tempat—
di Venezuela, di Mesir, di Turki.
Negara yang tampak kuat… sampai akhirnya rakyatnya kehilangan kepercayaan pada sistem.
Dan begitu itu terjadi—
jatuhnya negara tidak bisa terelakkan
Maka mari kita jangan tunggu titik hancurnya.
Jangan tunggu semua runtuh dulu baru kita bertindak karena rakyat muak
Mulai sekarang, mari kita berani bertanya pada diri sendiri:
Apakah institusi kita sungguh inklusif?
Siapa yang hari ini diberi akses?
Dan siapa yang diam-diam disingkirkan dari permainan?
Karena pertanyaan-pertanyaan itu—
akan menentukan bukan hanya siapa yang menang besok,
tapi apakah kita akan menang bersama, atau hancur berkeping-keping sebagai negara
Sebagai penutup:
Sumber daya terbesar Indonesia bukan nikel.
Bukan batu bara.
Bukan sawit.
Sumber daya terbesar kita adalah manusianya.
Dan kalau kita ingin membuka potensi penuh mereka—
maka kita harus bangun negara yang menghargai kerja keras, bukan koneksi.
Yang melindungi hak, bukan hanya pemasukan.
Yang melayani rakyat—bukan melanggengkan kekuasaan.
Itulah janji dari institusi inklusif.
Itulah jalan agar Indonesia tidak hanya tumbuh…
tapi juga bertahan.
Dan menang.
Karena pada akhirnya, negara tidak gagal karena siapa rakyatnya.
Tapi karena siapa yang berhenti mereka layani.
Dan, jangan sampai itu terjadi di sini.