Mari saya mulai dari sesuatu yang mungkin sudah kita lihat beberapa hari terakhir.
Orang-orang—termasuk saya—mengunggah foto versi diri mereka sendiri ala karakter Studio Ghibli. Rambut tertiup angin. Mata besar, ekspresif. Langit yang magical di belakang sebagai background.
Lucu. Magical. Cantik.
Dan ya, itu semua dibuat dengan AI (ChatGPT)
Sekilas, mungkin ini cuma tren seru-seruan.
Tapi kalau kita gali lebih dalam, sebenarnya bakalan muncul pertanyaan yang jauh lebih besar:
Apa yang terjadi ketika AI mulai menciptakan karya seni?
Ketika algoritma meniru sesuatu yang dulu hanya bisa keluar dari jiwa manusia?
Diskusi ini, menurut saya harus segera kita mulai.
Karena kita bukan lagi hidup di masa depan tempat AI akan mengubah kreativitas.
Kita sudah ada di dalamnya. Right now.
I. Keajaiban Sebuah Karya—Dan Kenapa Itu Penting
Seni itu selalu—selalu—adalah hal yang manusiawi.
Itu cara kita bercerita.
Mengabadikan.
Menginspirasi, Hingga, bermimpi.
Dari dinding gua sampai kanvas, dari batik sampai anime, dari tari Bali sampai digital design—seni bukan sekadar apa yang kita lihat. Tapi bagaimana kita merasakannya
Studio Ghibli?
Mereka tidak hanya bikin film.
Mereka memberi kita rasa takjub.
Mereka bikin kita percaya bahwa momen yang paling sepi pun punya makna.
Bahwa alam bisa bicara.
Bahwa semangkuk ramen bisa terasa seperti puisi.
Sekarang, AI bisa meniru gaya itu.
Dengan sempurna. Bahkan… terlalu sempurna.
Tapi sebuah pertanyaan menyeruak di pikiran saya:
Bisakah mesin-mesin tersebut (AI) membuat rasa nostalgia?
Mengerti kenangan masa kecil? Patah hati? Harapan? Rasa rindu?
Atau ini cuma gambar yang kelihatannya magis—tanpa “sebuah cerita” di baliknya?
II. Seni dan AI: Antara Inovasi dan Imitasi
Saya tidak akan mengatakan bahwa AI itu buruk untuk dunia Seni.
Karena memang, nyatanya tidak.
AI itu powerful.
Membantu desainer kerja lebih cepat.
Membantu storyteller membayangkan dunia baru.
Membuka akses bagi lebih banyak orang untuk berkarya.
Dan itu luar biasa.
Tapi ada satu hal yang tetap perlu kita tanyakan:
Di mana batas antara inspiration dan imitation?
Antara amplification dan appropriation?
Ketika sebuah model AI dilatih menggunakan karya para seniman—yang masih hidup atau sudah tiada—tanpa izin…
Kita harus berhenti sebentar dan bertanya:
Siapa yang punya style itu?
Siapa yang pantas diberi kredit?
Dan… apakah kita sedang membangun dunia di mana kreativitas dirayakan, atau cuma dikonsumsi?
III. Apakah AI Akan Menggantikan Seniman?
Mari kita buka saja yang banyak orang takut bicarakan.
Saya berani taruhan, banyak seniman merasa takut.
Dan saya rasa mereka berhak.
Ketika AI bisa menghasilkan versi “Ghibli-style” dari fotomu dalam waktu kurang dari 10 detik, pertanyaan-pertanyaan ini mulai muncul:
“Kenapa harus bayar ilustrator manusia?”
“Ngapain saya belajar bertahun-tahun, kalau sekarang semua bisa “diedit” sama aplikasi?”
Dan pertanyaan ini bukan cuma soal teknologi.
Ini soal etika.
Soal budaya.
Soal kemanusiaan.
Karena kreativitas bukan soal hasil akhir—tapi prosesnya.
Bukan cuma what you make, tapi why you make it.
Art is not fast food.
It’s slow-cooked soul.
IV. Peluang: Bukan Lawan, Tapi Kawan
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?
Tolak AI mentah-mentah?
Block penggunaan AI (beserta teknologinya), balik ke pensil dan cat air?
Enggak.
Kita tetap perlu jalan ke depan.
Tapi kita jalan dengan sadar.
Dengan hati-hati.
Dengan menghormati mereka yang karyanya jadi fondasi hari ini.
Kita tidak bersaing dengan AI—Masa depan seharusnya bisa kerja bareng.
Co-create.
Gunakan AI untuk memantik ide.
Memperluas suara.
Mendemokratisasi keindahan.
Tapi kita juga harus berdiri untuk para seniman.
Supaya mereka nggak dihapuskan atas nama efisiensi.
Karena inilah kenyataannya:
Masa depan kreativitas bukan tentang man vs machine.
Tapi man with machine.
V. Menjaga Jiwa Manusia dalam Seni
Jadi, ini yang saya yakini:
Anak-anak (baca: Generasi muda) kita perlu belajar bukan cuma cara pakai AI, tapi cara bercerita sebagai manusia.
Kita butuh hukum yang melindungi intellectual property, bukan cuma untuk korporasi, tapi juga untuk para kreator.
Kita perlu mendukung para seniman—bukan cuma dengan likes, tapi dengan penghargaan nyata, dan kesempatan nyata.
Karena kalau kita lupa siapa manusia di balik karya itu—
kalau kreativitas hanya jadi commodity—
kita kehilangan sesuatu yang nggak bisa diganti.
Kita kehilangan jiwanya.
VI. Kenapa Ini Masih Penting
Jadi, kalau besok kamu lihat lagi foto Ghibli-style di timeline—nikmati. Tersenyumlah. Mainkan.
Tapi sambil itu, coba tanyakan ke diri sendiri:
Siapa yang karyanya menginspirasi ini?
Bagaimana jika itu karya atau legacy kita?
Dan masa depan seperti apa yang ingin kita bangun?
Karena keajaiban Studio Ghibli itu bukan cuma di warna atau bentuknya.
Tapi di rasa.
Di keheningan.
Di hati.
Di soul.
Dan bagian itu—jiwa itu—masih di tangan kita.
Let’s keep it alive.