×

Dad Jokes: Oversimplify Jokes yang Tidak Lucu

Sebenarnya, saya sudah lama menyimpan keresahan ini, di mana semua jokes yang tidak lucu atau tidak relevan dianggap sebagai Dad Jokes. Perjalanan ke Luwuk kemarin memantik saya untuk berpikir, kenapa bisa begitu?

Saya berargumen bahwa jokes itu tidak lucu saat semua orang tidak ada yang tertawa sama sekali, tetapi jika ada yang tertawa dan ada yang tidak, maka bukan berarti jokes itu tidak lucu (dad jokes), karena mungkin saja sesimpel jokes itu tidak relevan untuk beberapa orang.

Thanks to Andri, Nanda, Leonis, Adin, Vero, Joni, dan Ann. Mereka adalah sampel dan inspirasi saya dalam mencari tahu kapan dikatakan jokes itu lucu atau dikatakan dad jokes. Nama pertama dan kedua adalah orang-orang yang relevan dengan jokes saya, dan mereka tertawa. Nama ketiga dan keempat adalah yang melabeli dad jokes, disclaimer: gapapa, karena selera jokes itu berbeda. Di akhir diskusi, Adin bilang bahwa jokes yang relevan buat dia adalah slapstick jokes. Nama-nama selanjutnya adalah netral, kadang tertawa dan kadang tidak.

Untuk mencoba menilai ke-netral-an joke yang saya lontarkan, saya biasanya menyelipkan jokes dari Dave Chappelle, Hasan Minhaj, Raditya Dika, Indra Frimawan, atau Taylor Tomlinson. Ya, tentu cara setup dan delivery-nya tidak sejago mereka, tapi setidaknya ini mengurangi sisi subjektifitas untuk mengetes apakah audiens tertawa atau tidak.

Analisis Jokes dan Relevansi

Dari premis di atas, saya mencoba mengkategorikan sebuah jokes berdasarkan timing dan benign-violence. Namun, diskusi dengan Leonis mengungkapkan bahwa perlu memasukkan relevansi, sehingga untuk mengkategorikan jenis lelucon, saya menggunakan tiga faktor: X (benign – violence), Y (good timing – bad timing), dan Z (high relevancy – low relevancy). Berikut adalah beberapa jenis jokes yang mencakup semua kemungkinan kombinasi faktor:

  • Kuadran I: Benign, Good Timing, High Relevancy Contoh: Puns, Observational Humor, Relevant Physical Humor.
  • Kuadran II: Benign, Good Timing, Low Relevancy Contoh: Silly Jokes, Nonsensical Jokes, Random One-Liners.
  • Kuadran III: Benign, Bad Timing, High Relevancy Contoh: Dad Jokes, Knock-Knock Jokes, Corny Jokes.
  • Kuadran IV: Benign, Bad Timing, Low Relevancy Contoh: Irrelevant Jokes, Off-Topic Physical Humor, Misplaced Wordplay.
  • Kuadran V: Violent, Good Timing, High Relevancy Contoh: Roasts, Satire, Relevant Physical Comedy.
  • Kuadran VI: Violent, Good Timing, Low Relevancy Contoh: Dark Humor, Sarcastic Remarks, Slapstick.
  • Kuadran VII: Violent, Bad Timing, High Relevancy Contoh: Insults, Offensive Jokes, Harsh Physical Comedy.
  • Kuadran VIII: Violent, Bad Timing, Low Relevancy Contoh: Insensitive Jokes, Inappropriate Physical Humor, Misplaced Dark Humor.

Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa Dad Jokes bukanlah berarti jokes itu tidak lucu, tetapi lebih ke karena jokes itu dilempar di timing yang tidak tepat dan masih punya relevansi terhadap penerima jokes, sebagai bukti: penerima jokes menyadari bahwa itu jokes dan “tidak marah”. Jika jokes itu sudah berada di timing yang salah dan relevansi nya sangat rendah, maka bisa dikategorikan : Irrelevant Jokes, Off-Topic Physical Humor, Misplaced Wordplay. Dan bila mengarah ke Violent, jokes itu bisa dikategorikan: Insensitive Jokes, Inappropriate Physical Humor, Misplaced Dark Humor.

Di awal, Adin mengatakan bahwa dia relevan dengan slapstick, tapi disini kenapa saya letakkan di low relevancy? Slapstick sering kali melibatkan aktivitas fisik yang berlebihan dan konyol, Slapstick bisa sangat lucu saat disampaikan dengan timing yang tepat, tetapi relevansinya bisa rendah jika audiens tidak terkait dengan konteks fisik atau situasi yang digambarkan dalam slapstick tersebut. Meskipun slapstick bisa sangat menghibur, kadang-kadang humor ini bisa dianggap tidak relevan oleh audiens yang tidak terbiasa atau tidak menikmati gaya humor fisik yang berlebihan.

Membuat Sebuah Kelucuan

Secara personal, saya punya passion yang unik yaitu menghidupkan suasana. Saat suasananya sudah hidup, biasanya saya mundur karena tidak mau jadi pusat perhatian dan membiarkan orang lain running “the show”. Bukan berarti saya tidak mau, tetapi karena menjadi pusat perhatian itu menguras energi saya.

Ini adalah hasil diskusi saya dengan Andri dan Nanda bagaimana menghidupkan susasana dengan jokes/lelucon. Saat membuat sebuah kelucuan, kita butuh objek yang gampang tertawa. Hal ini penting untuk memvalidasi bahwa jokes kita lucu dan orang lain tertawa. Biasanya, kelucuan itu menular. Thanks for Lydia yang udah jadi object kita, jadi kita gak mati gaya.

Bayangkan dalam satu kelompok ada 10 orang, dan let’s say 7 orang tertawa, 3 orang lainnya pasti di bawah alam sadarnya bertanya-tanya kenapa mereka tidak tertawa, sehingga mencoba merelevansikan diri dengan jokes yang ada. Sebaliknya, jika jokes dilempar dan satu orang saja bilang “dad jokes” duluan sebelum orang lain tertawa, maka matilah jokes itu. Kenapa? Karena orang yang netral (yang bisa saja tertawa dan tidak) cenderung akan memilih tidak tertawa. Jadi saat melempar jokes, penting kita mencari partner yang bisa tek-tokan atau objek yang mudah tertawa hingga tawanya menular.

Disclaimer: Yang saya tulis adalah hasil observasi dan diskusi yang singkat, jadi bisa saja salah.

Melalui tulisan ini, saya berharap kita bisa memahami kenapa sebuah jokes bisa dianggap lucu atau tidak, dan kenapa dad jokes sering kali mendapatkan stigma negatif. Humor adalah sesuatu yang subjektif dan setiap orang memiliki selera yang berbeda. Jadi, ya mari kita nikmati saja

Post Comment