×

Problematika “Angkutan Online”

Dewasa ini, konsep sharing economy sudah sangat populer diterapkan oleh banyak bisnis dari solusi tempat menginap (Air BnB), transportasi (Uber) hingga kuliner. Model bisnis ini menawarkan banyak keuntungan dan kemudahan baik  bagi penawar jasa maupun pengguna karena harganya yang lebih rumah dan fleksibel. Pada tahun 2013, The Economist mengestimasikan value dari sharing economy saat itu berkisar 26 milyar dollar, tentu saja saat ini angka tersebut menaik drastis mengingat banyaknya bisnis-bisnis serupa yang tumbuh dan infrastruktur internet yang ikut juga memberikan dampak positif ke bisnis tersbut. Di setiap inovasi baru, akan timbul pula masalah baru, sejarah mencatat Revolusi Industri telah merubah wajah dunia eropa. Karena revolusi industri, urbanisasi meningkat, upah buruh rendah, kesenjangan antara majikan dan buruh semakin meningkat. Dari sejarah, kita bisa belajar, inovasi yang tidak seimbang akan menimbulkan kerugian sendiri untuk negara tersebut. Begitu juga dengan inovasi sharing economy di Indonesia. Di balik kesuksesan sharing economy, tentu akan timbul masalah baru yang akan muncul.

Baru-baru ini, masalah demi masalah mulai bermunculan di berbagai kota, yang lagi hangat-hangatnya sekarang adalah demo Sopir Angkot yang memprotes beroperasinya angkutan berbasis online seperti Uber, Gojek, dan Grabcar. Karena adanya angkutan online tersebut pendapatan mereka berkurang drastis. Meanwhile, para kaum kelas menengah menentang keras aksi para sopit angkot tersebut tanpa pernah menyadari cepat atau lambat mereka bisa saja bernasib sama dengan mereka (kehilangan pendapatan) karena sebuah inovasi baru.

Buat kita, para kelas menengah, kita bisa saja mengatakan sopir angkot itu pemalas dan tidak bisa menerima perubahan, atau bilang ya salahnya sendiri jasa yang ditawarkan kacrut sehingga pelanggan pindah ke lain hati. Masalahnya bapak-bapak, ibu-ibu, mereka tidak punya pilihan pekerjaan lain, mereka hanya bisa nyopir angkot, tidak seperti kita yang mempunyai pendidikan (atau punya warisan) sehingga memiliki lebih banyak pilihan pekerjaan lain jika kita (let’s say) dipecat. Kita mungkin bisa berdebat, mereka bisa mencoba pekerjaan lain seperti jadi kuli tukang bangunan atau hal lainnya, pertanyaannya adalah apakah ada pekerjaan tersebut? Dan lagi seakan kita lupa, pendidikan paling mentok mereka adalah SMA, tidak jarang hanya cuma lulusan SD, terus kita yang merasa pintar dan berpendidikan ini memaksa mereka bisa berfikir seperti kita. Ketahuilah apa yang mereka melakukan selama ini hanyalah supaya bisa bertahan hidup, bisa makan 3 kali sehari, nyekolahin anaknya, bukan untuk beli 1 cup starbuck.

Dengan tidak adanya angkutan online, kita hanya perlu kembali ke rutinitas kita yang dulu (yang mungkin lebih ribet). Untuk mereka, jika angkutan online masih ada, berarti hidup mereka terancam, penghasilan mereka yang cukup untuk makan 3 kali sehari, bisa saja hanya cukup untuk makan 1-2 kali saja, alasan mereka simpel supaya bisa hidup (bukan supaya bisa nongkrong dan nonton). Belum lagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya kepada angkot. Dengan mogoknya sopir angkot bisa dipastikan berpengaruh juga ke mereka, sebagai contoh penjual-penjual di pasar tradisional yang biasanya menggunakan angkot untuk membawa barang dagangan mereka. Efek dari angkutan online tidak hanya berdampak pada sopir angkot saja, tetapi juga dari hulu ke hilir.

Pada posisi ini, saya bukan berarti anti terhadap inovasi karena saya sadar, seperti kata teman saya Yorga, menghentikan inovasi adalah hal yang sangat naif. Namun, menyelaraskan inovasi dan kondisi saat ini adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan jika tidak menginginkan gesekan sosial.  Jika ini diteruskan sambil pura-pura buta dengan kondisi di sekitar, maka ada baiknya sila ke-lima di pancasila kita hapuskan saja.

Solusi ? sorry to say, pemerintah dan regulasinya lah yang merupakan peran kunci dalam menyelesaikan kesemrawutan ini, tidak bisa masalah ini diserahkan ke rakyat nya dan menyalahkan rakyat jika terjadi kericuhan. Pemerintah harus dapat segera membuat regulasi tegas yang dapat adil untuk semua pihak. Remember, equity not equality. Tetapi sayangnya pembuatan regulasi adil tidak semudah itu, It takes time to balance conflicting needs, but sharing is growing quickly.

It takes time to balance conflicting needs, but sharing is growing quickly

Selagi pemerintah menggodok regulasi itu, memang ada baiknya pemerintah menghentikan sementara pengoperasian angkutan online atau melakukan pembatasan armada karena jika terus dibiarkan, masyarakat akan semakin tergantung kepada angkutan online, dan angkot akan semakin ditinggalkan. Dampaknya? konflik horizontal.

Ada komentar menarik dari netizen mengenai penghentian pengoprasian angkutan online yaitu : Indonesia kapan majunya kalau begini. Guys, for your information,  tidak sedikit di beberapa kota di negara-negara maju yang mem-ban Uber contohnya : Belgia, Perancis, Jerman, Italy. Alasannya pun beragam, seperti di Jerman, alasannya dikarenakan untuk menjadi supir taksi membutuhkan biaya yang mahal untuk mendapatkan licence nya, sehingga tidak-lah fair jika sopir uber yang tidak punya licence bisa mengangkut penumpang dengan mudah. Alasan kedua adalah karena pemerintah jerman akan kesulitan menghitung pajak pendapatan dari sopir uber tersebut. Untuk alasan kedua ini sebenarnya tantangan menarik untuk Indonesia, karena bagaimana bisa menghitung pajak pendapatan sopir angkutan online tersebut sedangkan KTP terintegrasi saja tidak punya, bagaimana bisa melacaknya :p

Kesempatan angkutan online tetap dan bisa beroperasi (secara adil untuk semua pihak) sebenarnya cukup besar. Indonesia bisa belajar dari Australia atau beberapa negara bagian di US. Sekarang tinggal seberapa cepat pemerintah merespon ini semua dengan menetapkan regulasi, maka mari kita tunggu respon dari pemerintah pusat. Jika tidak ada kebijakan dari pemerintah pusat mengenai hal ini, maka slogan kerja, kerja dan kerja, kita rasa perlu kita tinjau kembali 🙂

 

Post Comment