Kapitalisme adalah sebuah kata yang sudah akrab di telingah kita, tetapi lucunya tidak sedikit yang masih gamang apa itu kapitalisme. Beberapa orang hanya dapat menjelaskan kapitalisme adalah US, kapitalisme adalah yang membuat kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Padahal, kapitaliseme sebuah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan perekonomian. Fair enough bukan? Semua orang diberikan kesempatan yang sama. Namun, ada masalah lain. Saya memiliki istilah sendiri untuk masalah ini yaitu DOSA TURUNAN. Apa itu dosa turunan? yaitu hal-hal yang tidak menguntungkan oleh seorang individu dikarenakan emang given, misal miskin atau pendidikan rendah. Sebagai contoh kapitalisme memang menawarkan pertandingan yang berimbang tetapi masalahnya akan menjadi tidak berimbang jika salah satu pihak berasal dari orang kaya dan satunya dari orang miskin. Pertandingan bisa dipastikan tidak fair. Untuk mempermudah membayangkan, bayangkan kamu main monopoli, di awal permainan kamu cuma punya 10.ooo rupiah sedangkan lawanmu mendapatkan uang 1000.000 rupiah. Fair ? Think again if you think capitalism is fair 🙂
Efek dari kapitalisme tidak hanya dirasakan oleh orang miskin saja, untuk jangka panjang kapitalisme juga akan merugikan kelas menengah atas. Dengan kapitalisme yang bebas, maka gap antara miskin dan kaya akan semakin tinggi, jika diteruskan dan tidak ada rem maka kerusuhan bukanlah hal yang bisa terelakkan. Dengan semakin banyaknya orang miskin dan orang yang kurang berpendidikan di suatu wilayah, tindakan anarkis adalah tindakan paling logis yang bisa dilakukan oleh mereka yang hanya ingin bertahan hidup. Kenapa di awal saya yang menyebutkan bahwa kelas menengah atas akan dirugikan, karena orang kaya nya bisa pergi ke luar negeri tanpa harus pusing urusan duit.
Meskipun sudah ada konsep CSR (corporate social responsibility) yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara mencari keuntungan dan fungsi-fungsi sosial dalam suatu perusahaan melalui prinsip triple bottom line : financial, social and environmental benefits. Sayangnya sistem kapitalisme kontraproduktif dengan konsep tersebut. Cepat atau lambat, akan terjadi konflik antara pemegang saham (investor) dan program-program CSR, tentu saja keperntingan investor lah yang paling diutamakan. Untuk bisnis konvesional, terdapat aknedot social responsibility menghasilkan financial irresponsibility.
Di sistem kapitalisme untrammeled (bebas), sudahlah menjadi rahasia umum bahwa yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin, dan aturan dibuat untuk melindungi kepentingan orang yang berkuasa dan meminggirkan yang lemah. Terbukti mekanisme yang saat ini dibuat untuk mengontrol kapitalisme yang bertujuan untuk memihak kepentingan orang miskin tidaklah memadai:
Pemerintahan
Sebenarnya pemerintah dapat berbuat banyak dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk negara yang maju, kemiskinan dapat mudah dientaskan karena mereka memiliki infrastruktur dan regulasi yang memadai. Sebaliknya, di negara berkembang, kemiskinan tidak dengan mudah dapat dientaskan karena pemerintahan vulnerable terhadap birokrasi, korupsi, inefisiensi dan intervensi dari kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh. Sehingga, pemerintah tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan sendirian.
Nonprofits Organization
Nonprofits Organization sangat bergantung kepada orang-orang kaya yang mempunyai kedermawanan. Tetapi, charity tidaklah cukup untuk memecahkan masalah penyakit, kelaparan, kerusakan lingkungan dan tunawisma. Charity memiliki batas, dan sering aliran dana berhenti di masa-masa sulit.
Multilaterals
Lembaga-lembaga multilateral adalah lembaga yang memiliki mandat untuk menghilangkan kemiskinan dan membantu pembangunan ekonomi seperti bank pembangunan daerah, Bank Dunia dan International Finance Corporation. Namun, sayangnya lembaga-lembaga ini tidak konsisten sebagai organisasi nirlaba karena tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga membawa kepentingan pemerintahan, which is belum tentu juga berpihak kepada rakyat miskin. Dan tidak jarang juga di beberapa kasus, lembaga-lembaga ini kekurangan dana.
Corporate social responsibility
CSR mempunyai 2 pendekatan : “Do no harm to people or the planet” dan “Do good for people and the planet”. Tetapi pada kenyataannya, kepentingan Investor lah yang menang.
Nobel Peace Prize winner, Muhammad Yunus membawa sebuah solusi, yang dimana dia ceritakan di bukunya Creating a World Without Poverty. Tidak seperti solusi lainnya yang menawarkan pie-in-the-sky proposal (solusi yang diawang-awang). Sebaliknya Yunus menawarkan solusi yaitu dengan mendirikan lembaga keuangan kredit mikro yang terkenal di dunia.’
Yunus memperkanalkan Social Business. Alih-alih menggantungkan diri kepada pemerintahan, charity atau institusi multilateral. Social Business bekerja dengan menghasilkan keuntungan secara mandiri dengan mengempower orang-orang miskin. Mereka memiliki karyawan, memproduksi dan menjual produk atau jasa. Tetapi yang perlu digarisbawahi disini adalah, Social Business tidak fokus terhadap bagaimana mendapatkan uang tetapi bagaiman menghasilkan social benefit.
Tidak seperti perusahaan pada umumnya, social business tidak mengembalikan uang tersebut kepada investor akan tetapi mereka akan menggunakan dana tersebut untuk memperbesar bisnis mereka dan memberikan manfaat untuk banyak orang.
Seperti bisnis lainnya, Social Business juga memiliki investor. Tetapi yang membedakannya adalah, investor tidak dijanjikan keuntungan yang besar. Social Business hanya menjajikan modal mereka akan kembali. Sehingga, investor dari Social Business ini terdiri dari institusi multilateral, pemerintahan, bahkan perusahaan-perusahaan yang memiliki mandat untuk memperbaiki suatu komunitas.
Pelan namun pasti, Social Business telah memberikan dampak yang sangat signifikan dalam meretaskan kemiskinan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat miskin. Muhammad Yunus telah membuktikan bahwa orang miskin menjadi miskin bukan karena karakter mereka dan keengganan mereka untuk bekerja keras. Mereka miskin karena institusi dan regulasi tidak berpihak kepada mereka, sebaliknya regulasi lebih mendukung orang kaya. Sebagai contoh, orang miskin tidak akan bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman ke bank, dan pada akhirnya mereka terjebak hutang ke rentenir.
Muhammad Yunus juga menyoroti anggapan bahwa orang miskin tidak akan membayar hutangnya sehingga banyak investor yang enggan menginvestasikan uangnya ke orang miskin. Dengan penanganan dan pendekatan yang tepat, orang-orang miskin dapat memberikan benefit, tidak hanya untuk mereka sendiri tetapi juga untuk orang miskin lainnya.
Social business telah membawa sebuah solusi mendekati realitas, bukan hanya mimpi saja. Social business, dengan memberikan perhatian kepada social benefits dapat melakukan pembangunan tanpa melakukan pengrusakan likungan. Sehingga pada suatu masa akan tiba dimana orang harus pergi ke museum untuk belajar tentang kemiskinan.