Memberantas Hoax, siapa yang harus ditertibkan?
Sekarang ini banyak sekali orang-orang yang suka men-share link dari website dimana ke-valid-an nya patut dipertanyakan. Fenomena ini sangat menarik buat saya karena yang melakukan itu (baca : men-share link dari web yang tidak jelas) bukanlah orang yang tanpa pendidikan, melainkan “tidak jarang” teman-teman saya kuliah saat S1 atau bahkan teman saya yang sedang/sudah menempuh jenjang pendidikan master (S2). Dari beberapa diskusi, saya dapatkan kesimpulan bahwa teman-teman saya tersebut men-share berita dari media alternatif (media yang tingkat validitasnya rendah) karena media mainstream tidak memberitakan berita secara seimbang.
Untuk membuktikan hal itu saya mencoba mengambil sampel dari case study pilgub Jakarta ini. Dan saya mengambil 3 media online yang memiliki jumlah pembaca terbanyak yang saya ambil data dari alexa . Berdasarkan alexa, 3 media online tersebut adalah Tribunnews.com, Detik.com, dan Liputan6.com. Setelah itu, saya mengambil 10 berita terbaru (13 Januari 2017, pukul 1pm waktu belanda) dari ketiga media online tersebut dengan keyword agus yudhoyono, ahok, dan anies. Kemudian saya kategorikan menjadi 4 jenis berita, yaitu : Berita Positif, Netral, Berita Negatif, dan Tidak Berhubungan. Dan, hasilnya? Sebagai berikut :
Jika dilihat, kekhawatiran teman saya itu bisa benar bisa juga tidak. Data menampilkan bahwa paslon no 2, memang memiliki jatah pemberitaan paling banyak dibandingkan yang lain. Sebenarnya hal ini cukup beralasan karena paslon no 2 adalah incumbent, dan apalagi adalah media darling, sehingga jumlah berita tidak bisa kita jadikan patokan utama walaupun perbandingannya sangat signifikan. Dari jenis beritapun, terlihat tidak ada perbedaan signifikan, kalaupun ada keterpihakan adalah hal yang wajar asal tidak keterlaluhan.
Dalam hal konten, tidak seperti paslon lainnya, berita tentang agus cukup banyak yang tidak berhubungan, hal ini dikarenakan berita yang diliput adalah mengenai SBY dan bu Ani. Sedangkan untuk ahok, minggu ini beliau mendapatkan cukup banyak berita negatif dikarenakan statement beliau tentang “Anda Melawan Konstitusi Jika Memilih Berdasarkan Agama” dan juga kontroversi mengenai tetap bekerjanya beliau meskipun sudah berstatuskan terdakwa. Saya yakin, jika tidaka ada kasus tersebut, bukan tidak mungkin berita positif lebih mendominasi. Untuk Anies, 10 berita terbaru mengabarkan aktivitas anies mengisi minggu tenang dengan menghabiskan waktu bersama keluarga. Dari sini tidak ada yang patut dicurigai, tapi ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu di detik. Kita dapat melihat pattern yang aneh di bagian “Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?”. Mungkin teman-teman bisa ikut mencoba dan memperhatikannya. Saya coba masukkan keyword “prestasi ahok” dan memilah berita yang subyeknya ahok
Kita bisa lihat mayoritas reaksi adalah senang. Selanjutnya, mari kita coba dengan “prestasi anies” dan memilah berita yang subyeknya anies. Hasilnya :
sekarang kita coba memasukkan keyword “prestasi agus”, hasilnya :
Udah, Have you found something weird ? Ada hal yang cukup aneh disini, setiap (dan selalu) jika terdapat berita baik selain paslon 2, maka mayoritasnya adalah tidak peduli, bukan marah ataupun senang. Saya juga tidak bisa menyimpulkan apakah ini natural, karena dengan sampel yang selalu, saya rasa hal itu cukup mustahil. Mungkin teman-teman yang lain bisa bantu cek.
Apa dampaknya? Saya juga kurang tau, saya hanya menduga (ingat ya menduga), bahwa hal ini berhubungan dengan highlight berita yang ditampilkan ataupin indexing berita. Logikanya, jika tidak banyak orang yang peduli, buat apa berita itu ditampilkan “di depan”. Sekarang pertanyaannya adalah apakah hal ini natural ataukah ada faktor kesengajaan? hanya redaksi detik yang tau
Karena, saya tidak menemukan hal menarik lain, maka saya coba masukkan keyword FPI dengan metode yang sama (sampel 10 berita terbaru), dan hasilnya :
Bisa dilihat, bukanlah suatu hal yang mengagetkan bahwa mayoritas adalah berita negatif. Yang paling menarik adalah di detik berita positif-nya 0, padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa barusan saja diselenggarakan kegiatan 112. Kalau bisa saya simpulkan, sepertinya yang dimaksudkan teman saya dengan ketidakseimbangan berita bukanlah mengenai antar paslon akan tetapi mengenai ketidakadilan media dalam memberitakan “FPI”. Memang mau tidak mau, harus diakui bahwa FPI mempunyai kekurangan disana-sini, tetapi bukan berarti FPI adalah seorang iblis yang penuh akan dosa. Sekarang pertanyaannya adalah apakah media ikut andil dalam meningginya tensi ahok vs fpi (sebagian umat islam)? bisa iya, bisa tidak. Hal ini cukup rentan, karena sebagian umat islam merasa terwakili oleh FPI. Tentu saja, saat ada pemberitaan buruk mengenai FPI, mereka pasti terpantik.
However, tidak ada yang salah disini, selama mereka tidak memanipulasi informasi. Jika saya lihat, mereka hanya melakukan framing. Apakah itu framing ? bisa dilihat di video berikut
Honourable Mention = Metro TV
Saya melihat metroTV saat ini itu seperti melihat TVOne pada saat pemilihan presiden kemarin. Sudah melampaui batas, tidak hanya melakukan framing tetapi juga melakukan manipulasi informasi. Apa saja yang dilakukan MetroTV ?
Di saat aksi 112, umat islam membantu dan mengawal pasangan suami-istri menikah di Katedral, tidak ada satupun berita di MetroTV mengenai hal itu. Selain itu di kasus lain, metroTV lebih suka menyorot tanaman rusak saat “aksi bela islam 1”, tetapi tidak menyorot pelanggaran di saat pawai bhineka. Tetapi kembali lagi, itu adalah hak stasiun TV, tidak ada hukum yang dilanggar disini.
Lain halnya dengan manipulasi informasi yang dilakukan MetroTV terhadap pernyataan ulama cirebon dan buya yahya. Pelanggaran ini cukup serius, tetapi sayangnya di Indonesia tidak semudah itu memberikan sangsi ke media apalagi media besar.
Jadi Harus Gimana?
Ada 3 solusi untuk mengatasi tersebarnya berita Hoax. Solusi pertama adalah mendidik masyarakatnya, saya tidak akan panjang lebar mengenai hal ini, karena membutuhkan waktu yang lama dan success storynya pun belum ada yang bisa diukur. Sebagai contoh di US, di US sendiri berita hoax ternyata bukanlah hal yang langkah.
Solusi kedua adalah membredel website-website hoax. Ini memang bisa jadi solusi, tetapi di zaman era digital saat ini. Dibredel satu, bisa bikin baru lagi, sehingga gak akan ada habisnya. Ditambah lagi, menyewa domain dan server hanya 1 juta-an pertahun.
Solusi ketiga adalah meningkatkan kualitas media mainstream agar memberitakan secara objektif dan sedikit melakukan framing sehingga masyarakat indonesia tidak perlu mencari media alternatif untuk memenuhi “hasrat mereka”. Pertanyaan mudah, Apakah media mainstream yang paling kamu percaya memberitakan secara objektif selama ini? bisa dibilang tidak ada, semua pasti depends on “keterpihakan”.
Oleh sebab itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah dalam mengatur media-media mainstream tersebut karena jika dibiarkan seperti ini, bukan tidak mungkin media-media mainstream itu sendirilah yang menyebabkan suburnya berita hoax selama ini karena masyarakat tidak menemukan ketidakadilan di media mainstream. Dan berita hoax akan meningkatkan sentimental kelompok atau kepentingan yang dirugikan. Jika dibiarkan terus-menerus (hoax ini) bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan lapisan masyarakat.
Kenapa pemerintah? Soalnya siapa lagi yang bisa mengatur pemilik modal media tersebut selain pemerintah? Tidak ada lagi (Kalau hanya membredel media online abal-abal, sebenarnya masyarakat yang mulai jengah juga bisa melakukan itu, tidak perlu pemerintah sampai turun). Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas, hukuman yang jelas dan tegas sehingga media mainstream tidak main-main dalam menyebarkan berita.
Bukankah kita semua ingin hidup tentram dan nyaman? Maka hentikan ketidakadilan dan framing yang keterlaluan. Saya percaya, saat media mainstream memberitakan informasi secara adil dan objektif, otomatis kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream akan meningkat, perlahan mereka akan meninggalkan portal berita abal-abal yang menyebarkan Hoax. Apakah bisa dilakukan (pemerintah mengatur media mainstream)? Saya mengutip perkataan pak presiden jokowi :
Ada Kemauan Tidak? Itu Saja
Post Comment