×

Kemelut di bulan Ramadhan

Sebelum memulai tulisan ini, sikap saya terhadap penutupan warung adalah secara umum saya prefer warung tetap buka dan warung tersebut cukup ditutup dengan tirai

mencintai-allah

Kasus ini dimulai dengan polemik sebuah perda yang memaksa semua warung dan penjual makanan harus tutup dari pagi sampai menjelang berbuka. Saya akan membahas mengenai perda itu di akhir tulisan tetapi sebelum kesana mohon izinkan saya mengevaluasi ucapan “kalau punya iman jangan manja”. Ucapan itu tidak sepenuhnya salah karena terkadang iman kita sendiri perlu ‘diuji’ untuk menaikan level keimanan kiita. Tetapi yang saya lihat disini adalah ‘ikut campurnya’ pemda dalam kehidupan masyarakatnya. Saya rasa itu cukup lumrah karena memang itu adalah tugasnya mereka, tetapi pertanyaannya adalah ‘apakah perlu peraturan tersebut? dan masuk akalkah?’

Untuk lebih memudahkan dalam mengevaluasi ‘masuk akalkah?’ saya coba memperkecil scope dan membuat analogi. Saya analogikan kota Serang adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan 10 orang anak. Anggap saja ayah dan ibu adalah pemda, dan 10 anak itu tersebut telah menentukan cita-cita mereka yang terdiri 8 anak memillih untuk menjadi insinyur dan 2 anak lainnya telah menentukan akan menjadi olahragawan. Ayah dan ibu menyadari bahwa 8 dari orang anak tersebut tidak semuanya memiliki level kepintaran dan kerajinan yang setara, 3 di antara nya adalah pemalas dan sering menghabiskan waktu malam hari yang dimana merupakan jadwal belajar untuk menonton televisi sehingga orang tua tersebut memutuskan jika semua tidak boleh menonton TV atau maen games di antara jam 7 sampai jam 10 karena hal tersebut dapat menggangu konsentrasi 3 anak tersebut. Cukup adilkah ? Tergantung, tentu untuk 5 anak yang rajin bukanlah menjadi masalah besar karena ada ataupun tidak ada peraturan tersebut tidak akan mengganggu kekusyukan mereka belajar, yang menjadi masalah adalah 2 anak lainnya yang tidak “butuh belajar” di malam hari tapi ingat anak tersebut masih bisa bermain atau melakukan kegiatan lain. Cukup debatable juga ‘apakah 2 anak tersebut mendapatkan perlakuan yang adil?’.

Yang menjadi poin saya disini adalah peraturan tersebut bukan untuk ‘kalau punya iman jangan manja’ akan tetapi lebih untuk menguatkan iman orang yang imannya belum kuat.

Kembali ke masalah perda, saya lebih memilih kosa kata kearifan lokal untuk menggambarkan kondisi disana. Dan kearifan lokal itulah yang menjadi bahan pertimbangan perda tersebut. Yang perlu kita ingat kearifan lokal tidak mungkin terlepas dari faktor agama, tidak bisa tidak, apalagi dengan kondisi budaya timur saat ini. Pertanyaan selanjutnya pantaskah kita intervensi kondisi disana ? Masih debatable juga. Saya hanya teringat dimana sering banyak diskusi mengenai papua akan tetapi tidak ada satu pun warga papua disana atau saat orang-orang bule merumuskan ‘model’ untuk kesejahteraan Indonesia dan tidak ada satupun orang indonesia disana 🙂 Apakah kita akan mendiskusikan / menyimpulkan kondisi di serang tanpa melibatkan orang serang?

Di akhir kata, maafkan jika ada salah pemahaman atau salah kata karena manusia memang tempatnya salah

Post Comment