×

Hatta dan Refleksi tentang Beasiswa

MTE5NDg0MDU0OTkwMDYzMTE5

Pada tanggal 3 Agustus 1921, Hatta resmi meninggalkan Indonesia.

Menumpang kapal Tambora dari Teluk Bayur ke Rotterdam, Hatta meninggalkan Tanah Air untuk belajar ekonomi di Rotterdam, Belanda. Ia melukiskan ceritanya dengan sangat baik dalam buku otobiografinya, Untuk Negeriku (diterbitkan kembali oleh Kompas, 2011).

Hatta adalah satu dari sedikit mahasiswa ‘beruntung’ yang disekolahkan ke negeri Belanda sebagai bagian dari proyek ‘politik etis’ pemerintah kolonial. Ia memperoleh beasiswa dari van Deventer-Stichting, sebuah yayasan yang namanya diambil dari seorang politisi Belanda yang peduli dengan hak-hak koloni Hindia Belanda.

Atas beasiswa tersebut, ia kemudian memutuskan untuk belajar ekonomi selepas kelulusannya dari PHS -Sekolah Dagang Menengah Kolonial.

Namun, siapa sangka, keberangkatannya ke Belanda justru membawa sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh sang pemberi beasiswa.

Hatta memang bukan seorang siswa biasa. Sejak masih bersekolah di Batavia, ia sudah bergabung dengan aktivis-aktivis pergerakan zaman itu. Paruh kedua abad ke-20 itu memang dikenal sebagai ‘zaman bergerak’ -meminjam istilah Takashi Shiraishi.

Hatta tergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond -perkumpulan mahasiswa Sumatera- yang terkenal vokal dalam “menantang” pemerintah Kolonial. Karena latarbelakang pendidikannya di bidang ekonomi, ia diangkat menjadi bendahara.

Nazir Pamontjak -dalam bahasa Hatta- mengungkapkannya sebagai berikut: “Namamu sebagai Bendahari JSB sudah kesohor sampai kemari (Belanda, red).

Terlibat dalam Pergerakan

Persis ketika Hatta datang ke Belanda, Indonesische Vereeniging (kemudian bertransformasi menjadi Perhimpunan Indonesia) memang sedang aktif-aktifnya bergerak. Banyak di antara mereka yang sudah terlebih dulu aktif dalam dunia pergerakan di tanah air kemudian aktif bergiat di sana.

Di antaranya ialah dr. Soetomo, yang ikut mendirikan Boedi Oetomo bersama dr. Wahidin Sudirohusodo ketika masih menjadi mahasiswa STOVIA, Dr Sardjito (kemudian menjadi Rektor UGM pertama), Sukiman Wirjosandjono (kemudian menjadi Ketua Umum Masyumi yang pertama), Nazir Pamontjak yang terkenal radikal sejak di tanah air, dan aktivis-aktivis lain.

IV memang terkenal dengan pendirian nasionalisnya. Nazir Pamontjak sudah mengatakan: tidak ada inlander atau inboorling. Tidak ada lagi Nederlandsch-Indie. Yang ada hanyalah Indonesia. Mungkin kalau kita ucap dalam bahasa sekarang: tidak ada lagi istilah pribumi-pribumian. Merasa cukuplah dengan Indonesia.

Generasi ini adalah generasi-generasi pertama penerima beasiswa di tanah air. Tentu bukan hanya mereka yang menerima beasiswa. Ada banyak orang lain yang ikut menerima beasiswa pemerintah kolonial (atau yang semacam yayasan ‘baik hati’ seperti van Deventer-Stichting).

Namun, sebagaimana hukum dalam dunia aktivisme, hanya sedikit di antara mereka yang terlibat aktif.

Persoalannya, generasi-generasi penerima beasiswa ini adalah generasi yang, dalam bahasa Lubabun Ni’am, “terasuk panggilan tanah air”. Cukup sadar dengan nasib keluarga dan warga kampung mereka di tanah air. Mereka memang kelas menengah. Sebagian mungkin ngehek. 

Persoalannya, generasi-generasi penerima beasiswa ini adalah generasi yang, dalam bahasa Lubabun Ni’am, “terasuk panggilan tanah air

Namun, sebagaimana dibilang Ben Anderson, mereka adalah generasi kelas menengah yang berani. Berani dalam melakukan perlawanan terhadap birokrat kolonial yang memandang negeri koloni setengah mata. Berani untuk berserikat dalam memperjuangkan penghentian kolonialisme di negeri-negeri terjajah.

Hatta adalah salah satu di antara sedikit kelas menengah itu. Berbeda dengan Nazir Pamontjak yang sangat terkenal dengan pendirian non-kooperasinya terhadap pemerintah kolonial, Hatta lebih ‘moderat’. Namun tentu tak mengurangi kegarangannya.

Sejak mahasiswa, ia sudah menulis dengan cukup produktif. Ekonomi menjadi keahliannya yang utama. Produktivitas menulisnya ia barengi dengan kegemarannya membaca. Ia memborong buku di Hamburg.

Aktif berdiskusi dengan aktivis-aktivis zaman itu, mulai dari yang kirinya mentok seperti Tan Malaka dan Dharsono hingga yang nasionalis seperti Leon Panikkar. Ia rela berutang di Norwegia hanya untuk belajar koperasi di negeri-negeri Skandinavia tersebut.

Ia menggunakan kesempatan langkanya -mendapatkan beasiswa- untuk memperluas pengetahuannya di bidang ekonomi dan, yang paling penting, memperjuangkan nasib bangsanya di tengah hiruk-pikuk kolonialisme.

Reputasinya sebagai aktivis cum intelektual itu kemudian mengantarkannya pada karier yang lain yang tidak disangka-sangka: menjadi orang diburu-buru pemerintah kolonial. Aktivitasnya sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, selain juga aktivitasnya menulis di berbagai media lantas berkeliling Eropa untuk ikut Kongres Liga Antiokolonialisme dan berpidato di mana-mana, rupanya membuat gerah pemerintah Kolonial.

Ia ditangkap pada tahun 1927 sepulang dari Konferensi Liga Internasional Wanita. Ia rupanya sudah siap dengan penangkapan itu. Katanya, “Penangkapan ini hanya akan menambah popularitas Perhimpunan Indonesia”.

Hatta menyiapkan pleidoi yang kemudian menjadi salah satu karya terbaiknya: “Indonesia Merdeka”. Pembelaan yang kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan aktivis anti-kolonialisme di berbagai belahan dunia.

Membangkitkan Kembali “Semangat Hatta”

Sekarang mungkin sudah berselang satu abad sejak Hatta meninggalkan tanah air dengan kapal Tambora. Pembelaannya di negeri Belanda kini juga sudah berbuah dan kita rasakan manis-pahitnya.

Namun, ada satu hal yang mungkin perlu jadi renungan -terutama bagi kita yang sedang belajar di negeri orang: belajar berarti berjuang.

Sebagaimana pesan bapak saya sebelum berangkat: belajar itu jihad. Hal ini berat, tetapi saya yakin hal ini pula yang mengantarkan Hatta, Nazir Pamontjak, Soetomo, Sardjito, Samsi, Sjahrir, dan kawan-kawannya untuk aktif bergerak dalam Perhimpunan Indonesia.

Berjuang bukan hanya seperti imaji militer tentang kemerdekaan: mengangkat senjata dan membunuh orang. Berjuang bisa jadi dilakukan dengan maknanya sebagai pembebasan pengetahuan dari imaji-imaji kolonialisme baru, melawan penjajahan korporasi multinasional, menolak penindasan manusia atas dasar apapun: ras, kelas, atau agama.

Merefleksikan kembali Hatta mungkin akan sangat relevan untuk dilakukan oleh para penerima beasiswa yang baru datang di sini.

Beruntung, saya membawa otobiografi Hatta sebagai teman perjalanan (yang cukup membantu untuk menghadapi jetlag). Saya justru agak heran, nama Hatta justru tidak banyak disebut atau didiskusikan di lingkungan beasiswa yang saya terima (yang mungkin bisa dipahami karena persiapan keberangkatan yang terbatas).

Padahal, sebagai seorang proklamator, ia punya latarbelakang perjuangan yang sangat relevan untuk didiskusikan bagi para penerima beasiswa. Bahwa menerima beasiswa bukan sekadar kuliah di luar negeri atas dana ‘negara’: ia juga menjadi arena untuk berpengetahuan dan membangun imaji tentang ke-Indonesia-an dari sudut pandang yang mungkin akan menjadikan Indonesia punya identitas di kancah global.

Hal ini bisa jadi mengantarkan kita pada sebuah refleksi yang lebih rumit: bahwa berpengetahuan (karena kuliah bukan cuma mengejar gelar) berarti bergerak!

Hari ini, di tengah kemajuan teknologi dan suasana politik-ekonomi dunia yang kian dinamis, menghadirkan kembali semangat Hatta di kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri bukan hal yang mudah.

Jika dulu Hatta dan Nazir Pamontjak berjuang menghadapi kolonialisme, yang memang nyata di tanah air, lantas sekarang berjuang menghadapi apa? Apakah cukup sekadar anti-asing atau anti-aseng, sementara di dalam negeri kapitalisme lokal juga tak kalah rakus menghabisi sumber-sumber daya alam kita?

Atau jangan-jangan kita perlu mencari wujud nasionalisme yang lebih optimis untuk menghadapi konstelasi politik dunia yang kian berubah? Apapun itu, mungkin ‘musuh’ kita sebetulnya sama: ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat kecil. Aktornya saja yang mungkin berbeda.

Bagi penerima beasiswa, hal ini mungkin jadi tantangan. Mungkin, merefleksikan kembali perjuangan Hatta (mungkin bukan cuma Hatta: bisa jadi juga Sardjito dan Soetomo bagi mahasiswa kedokteran, Sjahrir bagi mahasiswa Sastra, Nazir Pamontjak, Soepomo, Yamin bagi mahasiswa Hukum, Tan Malaka bagi aktivis-aktivis kiri, atau Soekiman bagi aktivis Islam) dalam konteks yang lebih kekikinian menjadi pekerjaan rumah kita.

Memaknai karya-karya mungkin tidak berarti anti-asing. Masalahnya mungkin akan lebih kompleks: bagaimana membawa ‘jiwa zaman’ abad ke-19 dan mengaktualisasikannya dalam tugas-tugas kuliah atau Disertasi dan Tesis kita. Sesuatu yang membuat kuliah menjadi tidak sederhana.

Masalahnya mungkin akan lebih kompleks: bagaimana membawa ‘jiwa zaman’ abad ke-19 dan mengaktualisasikannya dalam tugas-tugas kuliah atau Disertasi dan Tesis kita. Sesuatu yang membuat kuliah menjadi tidak sederhana

Ah, ini baru permulaan. Perjalanan mungkin masih panjang dan berliku. Namun mungkin satu hal yang pasti: belajar itu berjuang. Dan Hatta telah membuktikan bahwa perjuangan itu tak pernah mudah. Apalagi, jika beasiswa yang kita terima adalah hasil dari jerih payah rakyat Indonesia yang menyumbangkan pajaknya.

Tulisan berasal dari https://www.selasar.com/politik/hatta-dan-refleksi-tentang-beasiswa

 

Post Comment